Selasa, 20 Mei 2008

Memahami Belenggu Pelayanan Publik Birokrasi

Memahami Belenggu Pelayanan Publik Birokrasi

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik harus dilaksanakan secara akuntabel, responsif, dan efisien. Suatu pelayanan publik dapat dikatakan memiliki akuntabilitas tinggi apabila kegiatan tersebut dianggap benar dan sesuai dengan nilai-nilai serta norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Artinya, pelayanan yang baik relatif harus berdasar pada kepuasan atau setidaknya berdasar pada apa yang diinginkan oleh masyarakat.

Merujuk hasil survei Center for Population and Policy Studies (CPPS) UGM terlihat bagaimana perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat saat ini masih lebih berdasar pada rule driven. Maksudnya, pelayanan publik yang diberikan pada masyarakat terlalu berorientasi pada aturan-aturan sehingga menyebabkan kekakuan-kekakuan, kelambanan-kelambanan, serta ketidakpuasan pada warga. Budaya rule driven tersebut sudah pasti tidak mendorong kreativitas aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan.

Kedua, penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus juga dilihat dari sisi responsivitas. Responsivitas atau ketanggapan (sikap tanggap) sangat diperlukan oleh aparut birokrasi dalam memberikan pelayanan publik karena hal tersebut merupakan suatu bentuk kemampuan organisasi publik dalam mengenali kebutuhan masyarakatnya. Hasil survei CPPS menunjukkan bahwa 55% aparatur birokrasi melakukan tindakan pembiaran atas keluhan masyarakat pengguna pelayanan sehingga memberikan citra yang buruk terhadap organisasi publik (termasuk kepolisian).

Ketiga, good governance harus juga dilihat dari sisi efisiensi. Pelayanan baru dapat dikatakan efisien apabila pengguna pelayanan dapat dilayani dalam waktu yang singkat dengan biaya yang murah. Sekali lagi, hasil survei CPPS menunjukkan bahwa 57% responden yang dimintai keterangan, memberikan gambaran yang buruk terhadap kinerja birokrasi karena ketidakefisienannya dalam bekerja, ditambah lagi dengan terlalu banyaknya pungutan liar yang membengkakkan biaya real suatu pelayanan.

Gambaran tersebut di atas bukan terjadi pada era Orde Baru, tetapi pada era reformasi saat ini. Oleh karena itu, tidak heran bila pemerintah Indonesia sepertinya baru tersadari akan lemahnya struktur dan pondasi ekonomi, politik, serta sosial, pada saat sekarang ini ketika reformasi yang telah berjalan selama lima tahun ternyata tidak memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap bermacam perbaikan. Tekanan yang datang dari dalam dan luar negeri justru menimbulkan perubahan ke arah yang lebih buruk dalam segala hal daripada masa sebelumnya, mulai dari menurunnya performa ekonomi, luluh-lantaknya perikatan-sosial-masyarakat akibat pelbagai konflik yang muncul, penegakan hukum yang sulit berwujud, meningkatnya jumlah masyarakat miskin, sampai dengan penurunan performa kinerja dan pelayanan birokrasi.

Apalagi, bila ditambah dengan masalah utang negara yang mencapai Rp 1.300-an triliun. Setiap tahunnya utang tersebut menyerap lebih dari 40% dana APBN untuk menyicil dan membayar bunga utang yang telah menjadi perangkap utang (debt-trap).

Permasalahan yang muncul di atas menunjukkan bahwa persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa ini amatlah berat. Semua permasalahan terlihat saling berkaitan satu dengan lainnya. Untuk memahami akar dari semua persoalan tersebut, ada tiga penyebab ketidakberfungsian birokrasi dalam menjalankan tugasnya saat ini sehingga merusakkan struktur dan pondasi ekonomi-sosial-politik di Indonesia. Ketiga penyebab ketidakberfungsian birokrasi tersebut ialah permasalahan struktur birokrasi, permasalahan budaya dan nilai yang berkembang dalam birokrasi, dan permasalahan lingkungan birokrasi itu sendiri.

Pertama, persoalan struktur birokrasi. Struktur birokrasi di Indonesia menjadi kurang atau amat tidak kondusif dengan perubahan sosial, khususnya perubahan dari Orde Baru ke Reformasi, akibat dari perilakunya yang sangat berlebihan. Perilaku berlebihan yang membentuk birokrasi menjadi tidak berfungsi secara wajar dapat dilihat dari sisi hierarki, spesialisasi, formalisasi, hingga prosedur pelaksanaan kebijakan.

Salah satu contoh untuk mengilustrasikan bagaimana ketidakberfungsian birokrasi yang dihubungkan dengan perilaku berlebihan dilihat dari variabel hierarkis adalah semakin panjang dan tingginya jalur heirarki di sebuah organisasi publik justru membuat arus informasi, arus pelaporan, ataupun arus perintah yang seharusnya lancar dan cepat menjadi amat lamban dan distortif. Padahal, informasi, pelaporan, dan perintah dalam konteks organisasi publik dibutuhkan kecepatan teknis yang tinggi. Hal ini berguna untuk menyalurkan dan menyediakan pelayanan secara tepat waktu.

Variabel spesialisasi yang awalnya -- menurut Max Weber -- dimaksudkan agar pekerjaan dapat dikerjakan oleh satu-satuan kerja yang memiliki peran dan tugas tertentu sehingga tidak timbul tumpang-tindih pekerjaan, namun, karena terlalu berlebihannya birokrasi dalam menjalankan spesialisasi justru membuat birokrasi menjadi terfragmentasi. Artinya, sering kali satu dinas dengan dinas lain, atau satu departemen dengan departemen lain, melakukan pekerjaan yang sama dengan tujuan yang berbeda, seperti kasus "penggalian" misalnya.

Hal ini sangat dimungkinkan karena spesialisasi sering diartikan sebagai "pekerjaan dinas saya" atau "pekerjaan departemen saya", yang tidak perlu dikomunikasikan dengan dinas lain atau departemen lain, yang sama juga halnya dengan formalisasi dan prosedur. Padahal, jauh-jauh hari Weber pernah memperingatkan bahwa rasionalisasi yang "terlalu berlebihan" akan memunculkan -- apa yang diistilahkannya dengan -- "kerangkeng besi birokrasi".

Kedua, persoalan budaya dan nilai yang berkembang di dalam birokrasi. Budaya dan nilai yang terangkut dalam birokrasi di Indonesia tidak bercirikan budaya dan nilai yang rasional seperti yang diisyaratkan oleh model birokrasinya Max Weber. Budaya dan nilai yang berkembang dalam peri-kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia -- dari dulu hingga kini -- adalah budaya patron-client.

Budaya patron-client bila dilihat dari akar terbentuknya merupakan kepanjangan sejarah dari konteks aristokrat Indonesia kuno. Bagaimana pada konsep tersebut, Raja adalah segalanya dan masyarakat adalah abdi atau kawula bagi Rajanya. Pada konteks kekinian, budaya patron-client yang dimaksud adalah kesanggupan seorang patron (atasan) untuk menyediakan atau memberikan kursi, jabatan, serta pekerjaan bagi client (bawahannya) dengan imbal-jasa bawahan harus memberikan loyalitas serta dedikasinya pada pemberi jabatan/pekerjaan, melalui bentuk-bentuk upeti, amplop, "kesenangan", dll. Oleh karena itu, perlakuan bawahan pada atasan yang seringkali berlebihan dengan menunjukkan loyalitas dan pengabdian yang tinggi pada patronnya serta mengabaikan kepentingan masyarakat, yang seharusnya mereka layani selaku public-servant, menjadi budaya yang mengakar kuat di negeri ini hingga era reformasi saat ini.

Implikasi langsung dari budaya tersebut di atas adalah para pejabat tinggi menjadi kurang mampu memahami realitas masalah yang ada atau yang tengah dialami serta dirasakan oleh masyarakat karena laporan serta informasi yang diberikan bawahannya (atau client-nya) seringkali distrosif. Karena keterangan yang disampaikan oleh para bawahan sudah pasti telah disesuaikan, dikemas, atau dibungkus sedemikian rupa agar berita-berita bagus dan menyenangkan dapat mengalir dan diterima atasannya sehingga membuat bapak-bapak/ibu-ibu atasan menjadi senang (ABS/AIS); yang mana, hal tersebut diharapkan dapat melanggengkan posisi si bawahan. Pada konteks pejabat bawahan (aparat pelaksana) akan terbentuk citra atau gambaran yang menganggap bahwa masyarakat pengguna jasa birokrasi sebagai "objek pelayanan" dan bukan sebagai subjek yang seharusnya dikenali kebutuhannya.

Oleh karena itu, salah satu ciri penting yang membedakan antara birokrasi patron-client dengan birokrasi rasional adalah konsep mengenai jabatan. Bila dalam birokrasi rasional konsep jabatan ditentukan dengan sistem prestasi (merit system), pada konteks birokrasi patron-client jabatan dilihat sebagai "fungsi kepercayaan" atasan pada bawahannya. Ini artinya, kedudukan seseorang sangat tergantung dari kedekatan, "sikap bekerja sama", hingga kemampuan untuk menanggapi (baca: menuruti) perintah atasan yang tinggi.

Budaya patron-client selain melahirkan implikasi negatif pada kinerja administrasi publik juga membuat pekerjaan di tingkat pelayanan menjadi lamban. Perilaku ini disebabkan oleh adanya diskresi-birokrasi. Diskresi-birokrasi adalah usaha pengambilan keputusan sendiri -- inisiatif aparat birokrat -- di setiap situasi yang tengah dihadapi oleh aparatur birokrasi.

Namun, karena budaya dalam organisasi publik di Indonesia masih bercitra patronase, sering kali pengambilan keputusan yang disebabkan oleh kebijakan yang kurang jelas mengakibatkan lambannya pelayanan yang seharusnya dapat diselesaikan pada saat itu juga (right in time), ditambah lagi dengan jiwa inisiatif aparat birokrasi di Indonesia belum tumbuh dengan baik. Ketika suatu kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah ternyata tidak begitu jelas dan pada sisi lain masyarakat membutuhkan kejelasan akan kebijakan yang telah dihasilkan, biasanya pejabat bawahan tidak mempunyai inisiatif yang cukup untuk melakukan keputusan (politik/birokrasi) karena budaya menunggu perintah atasan yang terpupuk oleh kebiasan patronase tersebut di muka. Inisiatif selalu digantungkan pada atasan. Ketika atasan tidak berada di tempat, pengguna jasa pelayanan (masyarakat) terpaksa menunggu hingga atasan tersebut datang atau kembali dari tugas luarnya.

Hal ketiga yang membuat birokrasi tidak bekerja sebagaimana mestinya atau disfungsi adalah oleh karena lingkungan birokrasi itu sendiri. Telah banyak langkah dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperbaiki kinerja administrasi publik di Indonesia tetapi selalu saja hasilnya nihil. Perampingan birokrasi membuat hierarki yang lebih pendek dan flat, hingga perbaikan gaji pegawai telah dilakukan oleh pemerintah. Namun, sayangnya langkah dan strategi tersebut hanya menyentuh pada aras struktur dan belum masuk pada pembenahan lingkungan birokrasi.

Birokrasi yang berjalan di Indonesia, beroperasi di lingkungan di mana sistem budaya yang berkembang justru memperkuat dampak negatif dari struktur birokrasi itu sendiri. Sistem sosio-politik yang tengah beroperasi di Indonesia bukan sistem yang demokratis, melainkan sistem kekuasaan yang hanya dimiliki oleh oligarki pejabat tinggi yang dapat menentukan nasib seorang bawahan (elite capture). Kemudian, sistem sosio-ekonomi yang juga tengah berlangsung adalah sistem yang penuh akan kolusi-nepotisme dengan memanfaatkan uang (money-talk serta money-politics) serta korupsi. Dengan demikian, manakala struktur yang diubah dan tidak pada aras lingkungan, yang terjadi adalah perbaikan struktur bukan perbaikan lingkungan atau bahkan perombakan budaya birokrasi.

Akibat dari percampuran antara struktur yang berperilaku secara berlebihan, budaya dan nilai patron-client, serta lingkungan yang turut melanggengkan perilaku aparatur birokrasi yang negatif mengakibatkan kinerja administrasi publik terus-menerus mengecewakan. Oleh karena itu, perlu kiranya para pengambil keputusan di tingkat nasional untuk memerhatikan hal-hal dasar (tersebut di atas) dalam melakukan reformasi birokrasi.

Artinya, perubahan dan perombakan pada sisi struktur birokrasi harus dikaitkan dengan perubahan dan perombakan pada sisi budaya, nilai, serta lingkungan yang kondusif dengan perubahan itu sendiri. Dengan demikian, secara lambat laun, gradual, dan sistematik dapat memberikan hasil perubahan ke arah yang lebih baik menuju cita-cita reformasi.


Rabu, 07 Mei 2008

Keep Your Idealism!

bila tiba masanya…..kita akan bersama membangun negeri ini menjadi lebih bermartabat, maju, beradab dan sejajar dengan negara dan bangsa lain di bawah kolong langit ini. Semuanya berawal dari sini...ya dari sinilah kita memulai semuanya. Menata diri dan masyarakat menjadi lebih baik adalah tugas kita semua selaku insan dan warga negeri ini yang makan-minum-tidur dan bernafas dari tanah dan air negeri ini...... karena kalau bukan kita...siapa lagi yang akan membangun negeri ini???

Negeri ini terlalu mahal untuk kita hancurkan...wahai kawan...!!!terlalu mahal pengorbanan yang kita sia-siakan dan kita tinggalkan bila kita lalai menjaga negeri ini....

Apakah yang akan kita jawab bila kita di tanya oleh pewaris negeri ini bila sekarang semuanya kita jual, gadai, hancurkan???akan seperti apakah pertanggungjawaban kelak di dunia-akhirat???

Bila tiba masanya....biarkanlah kami menghias negeri ini dengan lebih baik, teratur dan harmonis. Tidak banyak yang kami inginkan...sekali saja masa itu tiba...kami persembahkan yang terbaik bagi semuanya karena semua orang berhak hidup di atas tanah negeri ini, tanah yang dibasahi tetesan keringat dan kucuran darah mereka yang berjuang sehingga semuanya bisa kita nikmati hari ini....dan apakah yang kita sisakan bagi penerus kita????tanyalah pada hati-nuranimu kawan....karena engkaulah yang berhak menjawab semuanya dengan pertimbangan dalam hati yang bersih....

Bila masanya tiba....semuanya akan menjadi baik dari zaman sekarang karena orang baik adalah orang yang mampu berkaca dari sejarah pendahulunya yang itulah yang belum bisa kita lihat dari pemimpin kita hari ini....tapi kita bukan hakim. Apakah salah menilai seperti itu???

Kitalah pewaris sah negeri ini...yang bertanggungjawab memakmurkan dan menjaga semuanya sehingga kita tidak hanya meninggalkan cerita dan dongeng bagi mereka...pewaris selanjutnya...penerus nadi kehidupan bangsa ini dan pelanjut estafet yang kita terima...karena orang baik adalah orang yang meninggalkan yang terbaik buat penerusnya..

Negeri ini kawan....terlalu mahal untuk kita hancurkan karena bukan gampang meraih dan mewujudkan negeri sebesar ini...karena negeri ini dibangun diatas tumpukan mayat pejuang-pejuang besar diatas genangan darah dan lautan air mata mereka....

Mungkin sedikit yang bisa kami persembahkan tapi bukankah yang dilihat itu bukan banyak-sedikitnya tetapi niat ikhlas membangun dan menjaga warisan peradaban ini...???

Senin, 28 April 2008

Sudah Saatnya Para TKI Membentuk Sarikat TKI Di Masing-masing Negara

PAHLAWAN DEVISA, itulah istilah yang sering kita dengar, predikat bagi saudara-saudara kita yang sedang mencari nafkah di negeri seberang.

Menurut data dari Disnakertrans Prop Jatim jumlah TKI yang berasal dari Prop. Jatim sampai dengan tahun 2006 yang berada di luar negeri sekitar 2,85 juta orang yang tersebar di 16 negara dan inipun belum termasuk jumlah TKI yang ilegal.

Bisa kita bayangkan berapa Devisa yang masuk ke kantong Negara tiap tahunnya, jika rata-rata penghasilan para TKI perbulan Rp. 2,5 juta rupiah (gaji terendah), maka dapat kita hitung kurang lebih sekitar 7 juta dolar akan diterima Bangsa ini, sungguh jumlah yang luar biasa.

Kelihatan dan kedengarannya memang sangat membanggakan, namun di balik semua itu ada hal yang sungguh memprihatinkan, apakah ini sebanding dengan keadaan yang diterima para TKI di luar negeri, penghargaan terhadap para pahlawan devisa itu sangat minim. bahkan mereka diperas.

Besarnya penghasilan para TKI tidak pernah disertai dengan pengamatan berapa besar biaya yang telah mereka keluarkan.

Dari mana modal tersebut didapat dan belum lagi besar resiko yang ditanggung apabila TKI tersebut mendapat masalah penipuan, perampasan, tindak kekerasan atau dihukum penjara seumur hidup bahkan dihukum mati.

Apabila dikaji lebih cermat, maka apa yang terjadi pada para TKI ini merupakan manifestasi keadaan moral, sosial dan ekonomi di negeri ini.

Tingkat kemiskinan yang sangat tinggi dan kesempatan kerja yang terus menyempit, maka yang jadi tuntunan adalah naluri untuk mempertahankan hidup.

Seringkali kita mendengar bahkan menyaksikan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh saudara-saudara kita khususnya para wanita. Mulai dari menjadi korban perkosaan oleh majikannya, diperjualbelikan, dipukul dan sebagainya.

Memang dalam kondisi ekonomi negara kita saat ini menjadi TKI ke luar negeri adalah salah satu alternatif solusi yang ditempuh oleh saudara-saudara kita yang mayoritas tinggal di daerah pedesaan.

Dengan melihat kondisi di atas yang nampaknya sejak dulu hingga sekarang masih menjadi problematika bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia, terkesan sekali kalau saudara-saudara kita yang mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri kurang punya harga diri dan bermartabat.

Sekarang pertanyaannya, siapakah yang harus disalahkan?. Pemerintah, PJTKI ataukah para TKI itu sendiri.

Untuk kondisi saat ini sudah bukan jamannya kita saling menuding, menghujat dan menyalahkan.

Kalau kita lihat dari pihak pemerintah sendiri juga sudah terus berupaya untuk melakukan memberikan perhatian dan perlindungan terhadap TKI dengan menempatkan Duta Besar serta pembenahan melalui peraturan ketat terkait ijin atau ketentuan bagi warganya yang ingin menjadi TKI ke luar negeri.

Dari pihak PJTKI sendiri juga sudah berupaya memberikan pembekalan pendidikan dan pelatihan bagi para calon TKI.

Sedangkan dari TKI sendiri juga sudah berupaya untuk berbuat lebih baik dengan menerapkan segala sesuatu yang telah diajarkan atau diberikan oleh PJTKI.

Nah, ketika seperti itu adakah alternatif solusi yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan yang menghinggapi para TKI kita?

Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di ruang Biro Kesra ini, ada sesuatu impian besar yang ingin saya wujudkan khususnya di bidang ketenagakerjaan yaitu bagaimana mewujudkan saudara-saudara kita yang berada di luar negeri untuk mencari rezeki supaya lebih bermartabat dan mempunyai nilai tawar yang tinggi sehingga perlakuan-perlakuan yang kurang pantas serta perampasan hak-hak bisa di tekan atau bahkan tidak terjadi.

Sarikat TKI di masing-masing negara, mungkin itu salah satu solusinya. Mengapa harus Sarikat TKI di masing-masing negara?

Seperti kita ketahui kekerasan yang terjadi salah satunya desebabkan lemahnya posisi tawar para TKI karena karakter mereka yang sebagian besar berpendidikan rendah, kurang pengalaman dan keterampilan serta minimnya informasi yang didapat, bahkan saat mereka tersandung masalah, minim bagi mereka menuntut perlindungan.

Coba kita melihat kondisi tenaga kerja yang berada di dalam negeri, setiap kali terjadi ketidakadilan atas hak kaum pekerja pasti akan menimbulkan suatu reaksi dari Sarikat Buruh Indonesia sebagai bentuk protes dan wujud perlindungan terhadap hak dan kepentingan kaum pekerja.

Sehingga yang terjadi pihak perusahaan atau majikan akan bepikir ulang untuk berbuat seenaknya terhadap para pekerja.

Nah pandangan saya dengan adanya Serikat TKI di masing-masing negara dapat memberikan suatu bentuk perlindungan bagi para Tenaga Kerja Indonesia, sehingga pihak perusahaan maupun para majikan akan berpikir ulang ketika hendak merampas hak-hak para TKI karena sekali berbuat seenaknya mereka akan berhadapan dengan sebuah kekuatan buruh yang luar biasa.

Namun juga perlu diketahui bahwa tujuan serikat ini dalam rangka membangun kebersamaan dan memberikan perlindungan hak-hak dan media informasi bagi para TKI, bukan semata-mata untuk unjuk kekuatan di negara orang.

” Sarikat TKI dalam rangka membangun kebersamaan Saling Melindungi“